Jumat, 30 Desember 2011

MARI BELAJAR FIQIH

2.      Di tempat-tempat umum khususnya tempat ibadah biasanya terdapat Barang-barang waqaf. Barang-barang waqaf tersebut memang di sediakan untuk umum, tapi kadang-kadang penggunaanya itu tidak sesuai dengan keinginan orang yang waqaf
( waqif )
Pertanyaan :
Bagaimana hukumnya menggunakan barang-barang waqaf ( kipas angin ) dalam penggunaannya itu tidak sesuai dengan keinginan / niat waqif.
Jawaban :
Memang, dalam penggunaan barang waqaf itu harus sesuai dengan niat waqif. Jadi kalau tidak sesuai dengan niat waqifnya maka hukumnya Haram
Referensi: Fathul Mu’in Hamys I’anatu at-thalibin Juz III Hal : 171
وعبارته :حيث اجمل الواقف شرطه اتبع فيه العرف المطرد فى زمنه لانه بمنزلة شرطه ثم ماكان اقرب الى مقاصد الواقفين كما يدل عليه كلامهم ومن ثم امتنع فى السقايات المسبلة على الطرق غير الشرب ونقل الماء منها ولو لشرب اه.                                      ) فتح المعين هامش اعانة الطالبين الجزء 3 صحفة 171.(
Mari Beramal Dengan Menyebarkan Artikel Ini :
ZAKAT  KASB  AL-’AMAL WA AL-MIHAN AL-HURRAH )
ياأيها الذين آمنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم ومما أخرجنا لكم من الأرض ولاتيمموا الخبيث منه تنفقون ولستم بآخذيه إلا أن تغمضوا فيه  واعلموا أن الله غنى حميد-البقرة 267
“Hai orang-orang yang beriman, infaqkanlah sebahagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebahagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu lalu kamu infaqkan dari padanya padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Al-Baqarah, 2:267)
A.    Pendahuluan
Zakat adalah salah satu syari’at yang menjadi sendi tegaknya Islam (min arkan al- Islam). Syari’at ini selain mempunyai dimensi kesalehan kepada Allah (habl min Allah) juga mempunyai dimensi social (habl min al-naas). Tujuan disyari’atkannya untuk menciptakan kesejahteraan umat secara merata, sekaligus untuk membersihkan harta dari berbagai syubhat dan mensucikan jiwa dari bermacam-macam sifat tercela.
Kebanyakan kaum muslimin dalam memahami masalah zakat masih terfokus pada pembahasan fiqh yang memandangnya sebagai masalah ritual semata (ibadah mahdhah) dan statis, belum menyentuh pada masalah-masalah social yang berkembang sekarang ini. Kategori orang kaya adalah orang-orang yang memiliki sapi 30 ekor, atau memiliki kambing 40 ekor, atau memiliki unta 5 ekor, atau memiliki gandum, beras, jagung, kurma dan anggur sebanyak 5 wasaq, atau memiliki emas 20 dinar/misqal atau perak murni sebanyak 200 dirham. Karena sector ekonomi yang mendominasi masyarakat zaman klasik adalah sector peternakan, pertanian, perkebunan dan perniagaan yang menggunakan standar emas dan perak.
Hasil profesi atau hasil kerja seperti pegawai negeri dan swasta, dokter, pengacara, konsultan, notaries dan sebagainya belum dikenal di zaman klasik sebagai suatu sumber penghidupan yang menjanjikan kesejahteraan. Dengan demikian Ulama Salaf tidak banyak mempersoalkan masalah-masalah yang berhubungan dengan profesi dan hasil kerja tersebut, terutama yang berhubungan dengan masalah zakat. Lain halnya dengan bentuk-bentuk kasab tradisional seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan perniagaan yang sudah popular di masyarakat zaman itu, maka bidang-bidang ini telah mendapat perhatian para Ulama sehingga mendapat porsi pembahasan lebih luas yang dituangkan dalam kitab-kitab mereka.
Ulama kontemporer seperti Muhammad Abu Zahrah, Yusuf Qardhawi dan Wahbah Zuhaili melakukan pembahasan terhadap bentuk-bentuk kasab di bidang jasa seperti dokter, pengacara, konsultan, notaries, seniman, artis, pegawai negeri atau swasta dan sebagainya dan mengaitkannya dengan kewajiban zakat. Tampaknya struktur masyarakat kaya dan miskin saat ini mengalami perubahan mendasar. Kata “amwal” atau “harta” dipahami oleh orang Arab zaman klasik adalah binatang ternak. Dengan demikian orang kaya adalah orang yang banyak memiliki binatang ternak. Sekarang orang kaya bukan hanya orang yang memiliki ternak banyak atau memiliki lahan ratusan hektar, tetapi para pejabat tinggi negara, pemimpin perusahaan, pemimpin partai politik dan pekerja-pekerja profesonal yang memperoleh harta yang banyak. Dalam kehidupan modern kasab model ini lebih menjanjikan kesejahteraan, sementara kasab model tani, ternak dan nelayan terkesan sebagai kesederhanaan. Patutkah zakat dibebankan kepada orang-orang ini sementara orang-orang yang mempunyai pendapatan lebih besar tidak dibebani?
B.    Pengertian Zakat Profesi
Kata zakat semula bermakna: al-thaharah (bersih), al-nama’ (tumbuh, berkembang), al-barakah (anugerah yang lestari), al-madh (terpuji) dan al-shalah (kesalehan). Semua makna tersebut telah dipergunakan baik di dalam Al-Qur’an maupun di dalam Al-Hadits (Lisan al-Arab, 6:65). Kemudian kata zakat dipergunakan untuk menyebut nama hak Allah yang harus dikeluarkan oleh orang kaya dan disalurkan kepada fakir miskin dengan harapan agar memperoleh keberkahan dan kebersihan jiwa serta dapat menunbuhkan kebaikan-kebaikan yang banyak (Fiqh al-Sunnah, 1:276). Sedangkan kata profesi berasal dari bahasa Inggris “profession” yang artinya pekerjaan (John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, 1997:449). Dengan demikian yang dimaksud “zakat profesi” dalam tulisan ini ialah zakat hasil kerja dari pekerja-pekerja yang bergerak di bidang jasa seperti pegawai negeri, pegawai perusahaan, dokter, pengacara dan sebagainya.
Dalam prakteknya pekerjaan yang diserap di lapangan jasa (bukan produksi) dapat dibagi menjadi dua bagian; pertama pekerjaan yang tidak terikat dengan pihak lain (al-mihan al-hurrah) dan kedua pekerjaan yang terikat dengan pihak lain atau dikenal sebagai kerja profesi (kasb al-’amal).  Yang pertama adalah orang-orang yang bekerja memberikan pelayanan atau jasa tanpa terikat dengan suatu kontrak atau perjanjian dengan pihak lain. Contohnya seperti dokter yang melakukan praktek umum, notaries, seniman, pengacara, artis, konsultan (termasuk mediator atau calo), dan sebagainya. Masing-masing memperoleh upah atau imbalan yang cukup besar dari jasa dan pelayanan yang mereka kerjakan pada setiap hari atau setiap minggu atau setiap praktek dan setiap tampil. Adapun yang kedua yaitu orang-orang yang melaksanakan pekerjaannya melalui sebuah kontrak atau perjanjian dengan pihak lain, misalnya seperti pegawai negeri, dinas ketentaraan, polisi, pegawai pabrik, pegawai perusahaan, atau menjadi pekerja pada perorangan seperti TKI dan TKW yang memperoleh gaji secara rutin pada setiap bulan (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 2:865-866).
C.    Dasar Hukum Zakat
Dasar hukum kewajiban zakat secara umum diseebutkan baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang antara lain sebagai berikut :
وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة-البقرة 43
“Dan dirikanlah shalat  dan tunaikanlah zakat…” (QS Al-Baqarah,2:43)
خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها -التوبة 103
“Ambillah zakat dari sebahagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS At-Taubah,9:103)
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بنى الاسلام على خمس:شهادة أن لا اله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان-متفق عليه
“Rasulullah SAW bersabda: Agama Islam didirikan di atas lima pilar, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, pergi haji ke Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan” (HR Bukhari Muslim)
Dan dasar hukum zakat profesi dapat diambil dari mafhum ayat dan hadits sebagai berikut :
يا أيها الذين أمنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم ومما أخرجنا لكم من الارض-البقرة 267
Hai orang-orang yang beriman, infaqkanlah sebahagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebahagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu …” (QS Al-Baqarah,2:267)
وهوالذى أنشأ جنت معروشت وغير معروشت والنخل والزرع مختلفا أكله والزيتون والرمان متشابها وغير متشابه كلوا من ثمره إذا أثمر وآتوا حقه يوم حصاده-الأنعام 141
Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) apabila ia berbuah dan tunaikanlah haknya pada hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)…” (QS Al-An’am,6:141)
عن ابن عباس رضى الله عنه قال:أن النبى صلى الله عليه وسلم لما بعث معاذا الى اليمن قال: إنك تأتى قوما من أهل الكتاب, فادعهم الى شهادة أن لااله الا الله وأنى رسول الله,فإن هم أطاعوك لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم خمس صلوات فى كل يوم وليلة, فإن أطاعوك لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم, فإن هم أطاعوك لذلك فإياك وكرائم أموالهم,واتق دعوة المظلوم فإنه ليس بينها وبين الله حجاب -رواه الجماعة
Dari Ibnu Abbas RA berkata: bahwa ketika Nabi SAW mengutus Mu’adz ke negeri Yaman beliau memberikan amanat (kepadanya): Sesungguhnya engkau akan menghadapi masyarakat Ahli Kitab, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah; apabila mereka telah taat kepadamu mengenai hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan shalat lima kali sehari semalam; apabila mereka telah taat kepadamu mengenai hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan shadaqah (zakat) kepada mereka, yang diambil dari orang-orang kaya dan disalurkan kepada orang-orang miskin dari kalangan mereka. Apabila mereka telah taat kepadamu mengenai hal itu, maka kamu hendaklah berhati hati, jangan mengambil yang baik-baiknya saja dari harta mereka, dan hindarilah doa orang-orang yang teraniaya, karena antara doanya dengan Allah tidak ada hijab” (HR Sejumlah besar Ahli Hadits)
Beberapa ayat dan hadits tersebut menunjukkan kewajiban zakat dan tujuan serta teknis penarikannya. Dalam garis besarnya obyek zakat meliputi keseluruhan hasil usaha (min thayyibati ma kasabtum) dan keseluruhan komoditas yang mencakup flora dan fauna (min ma akhrajna lakum min al-ardli). Dan pada prinsipnya sistem zakat adalah sistem pemerataan kesejahteraan masyarakat yang diatur melalui penarikan harta dari orang-orang kaya dan disalurkan kepada orang-orang miskin.
D.    Tujuan dan Manfaat Zakat
Seperti diisyaratkan dalam ayat 103 dari surat At-Taubat di atas, bahwa secara teologis kewajiban zakat diberlakukan untuk membersihkan harta dari berbagai syubhat dan sekali gus membersihkan jiwa pemiliknya dari berbagai kotoran rohani. Dan secara social menunjukkan rasa solidaritas dan kesetiakawanan orang-orang kaya kepada orang-orang miskin sehingga terjalin persaudaraan yang kokoh di masyarakat yang saling menolong dan saling menyayangi.
عن أنس رضى الله عنه قال:أتى رجل من تميم رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إنى ذو مال كثير وذو أهل ومال وحاضرة, فأخبرنى كيف أصنع وكيف أنفق؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: تخرج الزكاة من مالك فإنها طهرة تطهرك وتصل أقربائك وتعرف حق المسكين والجار والسائل-رواه أحمد
Dari Anas RA berkata: Seorang dari Suku Tamim menghadap Rasulullah SAW dan bertanya: Hai Rasulullah aku mempunyai harta yang banyak dan mempunyai keluarga yang banyak pula serta banyak tamu-tamu yang datang, maka berikanlah aku petunjuk bagaimana sebaiknya aku beramal dan berinfaq? Maka Rasulullah memberikan petunjuk: Keluarkanlah zakatnya dari hartamu itu, karena dengan mengeluarkan zakatnya kamu dapat membersihkan (harta dan jiwamu), dan kamu dapat mempererat tali kekeluargaanmu, serta kamu mengerti hak-hak fakir miskin, hak-hak tetangga dan hak-hak orang yang meminta-minta” (HR Ahmad)
Hadits ini memberikan petunjuk singkat mengenai tujuan dan manfaat zakat harta, baik tujuan teologis maupun tujuan sosialnya. Allah memberikan rizki kepada hambanya berbeda-beda, ada yang diberi  kemudahan-kemudahan dan ada yang diberi kesulitan dan kesukaran. Yang demikian sudah menjadi sunnatullah, tujuannya agar saling membutuhkan (QS Az-Zukhruf,43:32). Seorang suku Tamim diberi harta yang melimpah dan mempunyai tanggungan keluarga yang banyak. Di samping itu banyak pula orang-orang yang datang kepadanya untuk meminta bantuan. Rasulullah SAW memberikan petunjuk agar dikeluarkan zakatnya sehingga secara proporsional harta yang digunakan untuk keperluan keluarga adalah harta yang sudah bersih, sedangkan harta yang dikeluarkan untuk kelompok fakir miskin berfungsi sebagai tali kasih yang memperkokoh persaudaraan dan kekeluargaan. Fungsi dan manfaat zakat yang lain disebutkan oleh Wahbah (1989,II:732-733) antara lain :
1.            Menghindari kecemburuan social sehingga harta menjadi aman, karena kecemburuan sosial bisa menimbulkan kerawanan di masyarakat.
2.            Memberi bantuan langsung kepada fakir miskin. Apabila mereka mempunyai keterampilan, maka uang bantuan itu dapat dipergunakan sebagi modal usaha kecil, dan apabila tidak mempunyai kerampilan, maka akan dipergunakan sebagai bantuan yang dapat meringankan beban hidupnya.
3.            Membersihkan muzakki dari sifat-sifat yang tidak terpuji dan tidak peduli kepada orang lain. karena orang mu’min yang telah membiasakan membayar zakat akan menjadi orang dermawan.
4.            Sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia dan memberikan kemudahan-kemudahan mencari rizki. Bukankah banyak orang yang telah bekerja keras dan membanting tulang tetapi rizkinya pas-pasan.
B. Kewajiban Zakat Profesi
Perubahan masyarakat saat ini dari masyarakat agraris primitif dan tradisional menuju masyarakat maju dan modern berjalan begitu cepat. Sistem ekonomi bergeser dari pola ekonomi tradisional di pedesaan menuju masyarakat industri yang maju dan modern. Orang-orang mencari nafkah bukan lagi bertani dan berternak, tetapi bergerak di bidang jasa dan pelayanan. Orang-orang yang bekerja di bidang jasa dan pelayanan banyak yang memperoleh penghasilan (income) lebih baik dari pada usaha pertanian dan usaha lain yang hasilnya belum menentu. Misalnya seperti pejabat tinggi negara, pimpinan partai politik, pegawai negeri, pegawai perusahaan, perbankan, penerbangan, angkutan umum, transportasi, telkom dan sebagainya, mereka memperoleh penghasilan secara rutin yang cukup besar pada setiap bulannya. Atau seorang pegawai professional yang memberikan pelayanan tanpa terikat oleh kontrak dan waktu seperti dokter praktek, pengacara, konsultan, kontraktor, seniman dan sebagainya yang memperoleh bayaran atau imbalan jasa yang besar pada setiap kegiatan. Semua usaha ini umumnya lebih menjanjikan kesejahteraan dibandingkan dengan kerja-kerja tradisional yang sekarang sudah mulai tidak diminati orang.
Inilah yang menimbulkan pertanyaan apakah mereka tidak diwajibkan membayar zakat? Sementara para petani tradisional yang pengahasilannya relatif kecil dibebani kewajiban zakat? Ada beberapa pandangan Ulama dalam masalah ini baik dari kalangan shahabat maupun tabi’in sebagai berikut:
F.    Ulama yang mewajibkan zakat profesi :
1.            Ibnu Hazm menjelaskan bahwa telah sah riwayat dari Ibnu Abbas bahwa beliau mewajibkan zakat pada setiap harta yang wajib dizakati pada waktu dimiliki oleh seorang muslim (Al-Muhalla, VI:83).
2.            Abu Ubaid meriwayatkan dari Hubairah bin Yarim bahwa Abdullah Ibnu Mas’ud memungut zakat gaji prajurit (al-’atha) yang terjadi dalam beberapa peperangan kecil (Fiqh al-Zakat, I:500)
3.            Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa orang yang pertama memungut zakat dari gaji (al-a’thiyah) adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan (Al-Muwatha, I:207).
Ini mungkin maksudnya orang pertama dari kalangan Khalifah yang memungut zakat dari gaji pegawai, karena sebelumnya Abnu Mas’ud sudah melakukan hal itu. Dalam riwayat Abu Ubaid bahwa Mu’awiyah apabila menyerahkan gaji pegawainya diambil zakatnya. Demikian pula apabila membagi-bagikan harta terlantar yang dikuasai oleh negara (radd al-madzalim) kepada masyarakat dipungut zakatnya juga. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz (Khalifah al-Rasyidin ke lima) selalu mengeluarkan zakat dari gaji (al-’atha) dan honorarium (al-ja’izah). Bahkan sampai kepada honor dan hadiah yang diberikan kepada delegasi sebagai imbalan jasa atau suatu prestasi dipungut zakatnya.
Ulama Tabi’in  yang lain yang memandang wajib mengeluarkan zakat dari gaji dan pendapatan lainnya (al-mal al-mustafad) ialah Az-Zuhri, Al-Hasan. Makhul dan Al-Auza’ie
Madzhab Ahlul Bait seperti An-Nashir, Ash-Shadiq dan Al-Baqir sependapat dengan Daud Adh-Dhahiri bahwa orang yang menerima gaji mencapai nisab harus mengeluarkan zakatnya seketika, tanpa menunggu haul (Fqh al-Zakat,I:502-503)
Dari Imam Ahmad ada riwayat bahwa barang siapa yang menyewakan rumah atau tanah (‘iqar) dan harganya mencapai nisab, maka harus dikeluarkan zakatnya saat itu. (Al-Mughni, II:638)
Asy-Syirazie dari kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa orang yang memperoleh uang sewa dari sebuah rumah dan telah mencapai haul maka zakatnya wajib dikeluarkan walaupun pihak penyewa belum memanfaatkan sampai habis masa kontraknya. Alasannya karena uang sewa tersebut telah menjadi milik penuh pihak yang menyewakan sama halnya dengan uang mahar bagi seorang wanita. Secara teknis An-Nawawie menjelaskan sebagai berikut:
1.    Seandainya sebuah rumah dikontrakkan selama 4 tahun dengan uang sewa sebanyak 160 dinar, setiap tahun 40 dinar, maka membayar zakatnya pada tahun pertama 4 dinar, begitu pula tahun-tahun berikutnya harus membayar zakatnya sebanyak 4 dinar pertahun. Demikian ini jika uang zakat dibayar dari dana lain, tetapi apabila dibayar dari dana hasil sewaan rumah tersebut, maka tinggal dikurangi dengan jumlah pengeluaran tersebut.
2.    Dibayar sesuai dengan jumlah uang sewa pertahun; tahun pertama 40 dinar, zakatnya 1 dinar; tahun kedua menjadi 80 dinar, zakatnya 2 tahun X 2 dinar =  4 dinar, tetapi karena sudah dibayar 1 dinar, maka membayarnya 3 dinar; tahun ketiga uang sewanya menjadi 120 dinar, maka zakatnya 3 tahun X 3 dinar = 9 dinar, tetapi karena sudah dibayar sebanyak 4 dinar, maka membayarnya 5 dinar; tahun keempat atau tahun terakhir uang sewanya menjadi 160 dinar, maka zakatnya 4 tahun X  4 dinar = 16 dinar, tetapi karena sudah dibayar           9 dinar, maka membayarnya hanya 7 dinar (Al-Thab’ah al-Kamilah min Kitab Al-Majmu, 5:508-509)
Ada yang menarik untuk dikaji dari pandangan Ulama Syafi’iyah ini, yakni bahwa setiap pendapatan (income) yang diterima oleh seorang muslim, baik berupa uang hasil sewaan rumah atau uang mahar apabila mencapai nisab dan haul, maka wajib dibayar zakatnya. Hal ini bisa dianalogkan dengan pendapatan hasil profesi, karena kedua-duanya sama-sama menawarkan jasa dan pelayanan.
G.   Ulama yang tidak mewajibkan zakat profesi:
1.    Imam Malik meriwayatkan dari Muhammad bin Uqbah bahwa dia bertanya kepada Qasim bin Muhammad tentang seorang budak yang membebaskan diri dengan membayar sejumlah besar uang, apakah harus membayar zakatnya? Qasim menjawab bahwa Abu Bakar al-Shiddiq tidak memungut zakat dari harta kecuali jika mencapai haul. Qasim memberikan penjelasan bahwa Abu Bakar apabila membayar gaji pegawai bertanya kepada mereka apakah mereka mempunyai harta yang lain yang wajib dizakati, apabila mereka menjawab punya, maka beliau langsung memungut zakat harta itu, dan apabila menjawab tidak mempunyai, maka beliau menyerahkan gajinya tanpa dipungut apapun.
a.           Imam Malik meriwayatkan dari Umar bin Husain, dari Aisyah binti Qudamah, dari bapaknya bahwa bapaknya (Qudamah) menerangkan: apabila aku datang menghadap Utsman bin Affan untuk mengambil gaji beliau bertanya kepadaku: apakah kamu mempunyai harta yang lain yang wajib dizakati, apabila aku menjawab ya, maka zakatnya dipungut langsung dari harta itu, tetapi apabila aku menjawab tidak, maka gajinya diserahkan kepadaku.
b.           Abdullah bin Umar mengatakan bahwa harta tidak wajib dikeluarkan zakatnya kecuali apabila mencapai haul (Al-Muwatha, I:206-207)
c.           Ibnu Hazm menjelaskan bahwa Imam Abu Hanifah tidak mewajibkan zakat hasil profesi (al-maal al-mustafad) kecuali jika mencapai haul. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa apabila seseorang mempunyai harta sebanyak 200 dirham pada awal tahun kemudian uang itu digunakan sampai habis hingga tinggal satu dirham saja tetapi sesudah itu kira-kira sesaat sebelum akhir tahun orang itu usaha lagi hingga memperoleh hasil 199 dirham, maka orang itu wajib mengeluarkan zakatnya karena secara keseluruhan pada awal dan akhir tahun harta tersebut mencapai nisab.
d.           Imam Malik menegaskan bahwa harta hasil profesi tidak wajib dikeluarkan zakatnya kecuali apabila mencapai haul, baik yang bersangkutan mempunyai harta lain yang sejenis yang wajib dizakati atau tidak. Demikian pula pendapat Imam Asy-Syafi’I (Al-Muhalla, VI:84)
H.    Pendapat Ulama Kontemporer
Ulama kontemporer seperti Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf, Wahbah Az-Zuhaili dan Yusuf Qardhawi telah mengadakan penelitian dan memunaqasahkan argumen-argumen (adillah) yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, pihak Ulama yang mewajibkan zakat profesi dan pihak Ulama yang tidak mewajibkan. Dalam kesimpulannya mereka memilih pendapat yang mewajibkan zakat hasil profesi dengan alasan :
1.            Mensyaratkan haul dalam segala jenis harta termasuk hasil profesi (al-maal al-mustafad) tidak didukung oleh nash yang shahih atau hasan yang dapat dijadikan landasan untuk mentakhshish dalil ‘am atau mentaqyidi yang muthlaq.
2.            Ulama shahabat dan tabi’in telah berbeda pendapat mengenai zakat hasil profesi (al-maal al-mustafad), sebahagian mereka mensyaratkan adanya haul dan sebahagian lagi tidak mensyaratkannya, tetapi langsung dikeluarkan zakatnya pada saat diperolehnya. Jika terjadi demikian maka tidak ada pendapat yang satu lebih utama dari yang lain sehingga tidak ada yang mengharuskan berpegang pada salah satunya sehingga permasalahannya dikembalikan kepada otoritas nash : “Apabila kamu berselisih maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (al-Hadits)
3.            Kalangan Ulama yang tidak mensyaratkan haul adalah lebih dekat kepada pengertian umum nash dan kemutlakkannya, karena nash-nash yang menunjuk pada kewajiban zakat berlaku umum dan mutlak.
4.            Apabila nash-nash yang menunjuk pada kewajiban zakat berlaku secara umum dan mutlak, maka hasil profesi termasuk di dalamnya.
5.            Mensyaratkan adanya haul pada zakat profesi akan membebaskan kewajiban zakat kepada sebahagian besar pegawai tinggi dan para profeonal yang mendapatkan income sangat besar. Karena bisa saja hasilnya habis digunakan untuk membiayai hidup mewah dan berfoya-foya. Dengan demikian beban zakat hanya ditanggung oleh pekerja-pekerja menengah ke bawah yang hemat dan rajin untuk menabung.
6.            Pendapat yang mensyaratkan adanya haul pada zakat profesi berimplikasi pada ketidak adilan dalam pembebanan zakat. Karena seorang petani yang bekerja menggarap sawahnya berbulan-bulan ketika memperoleh hasil sebanyak 5 wasaq (lebih kurang 12 kwintal gabah atau 7,20 kwintal beras bernilai sekitar Rp 1800.000,-) dikenakan beban zakat 5-10 persen, sementara para pejabat tinggi dan pemimpin perusahaan atau pekerja-pekerja professional yamng mendapatkan uang (income) sangat besar tidak dikenakan zakat (Fiqh al-Zakat, I:505-509)
I.     Nisab Zakat Profesi  dan Kadar Kakatnya
Muhammad Al-Ghazali menggunakan pendekatan analogis (al-qiyas) dalam menentukan nisab dan kadar zakat profesi. Beliau menyamakan jasa profesi dengan pertanian dan perkebunan dengan alasan karena kedua-duanyanya hanya memperhitungkan keuntungan (miqdar al-dakhl), tidak memperhitungkan modal, karena modalnya berupa lahan relatif utuh. Jalan pikiran Muhammad Al-Ghazali ini berakar dari masalah pembebanan kewajiban zakat. Menurut beliau obyek zakat secara garis besarnya dapat dibagi dua; Pertama harta kekayaan yang menggunakan modal yang mungkin bertambah dan mungkin berkurang, yaitu modal uang tunai (al-nuqud) dan modal barang-barang dagangan. Kedua harta kekayaan yang relatif tetap yang hanya memperhitungkan keuntungan yang masuk, seperti tanah-tanah pertanian dan lahan-lahan perkebunan. Jasa profesi disamakan dengan jasa tanah-tanah pertanian dan lahan perkebunan dengan alasan karena kedua-duanya tidak menghitung modal (sawah dan ladang), tetapi hanya menghitung hasilnya saja. Berbeda dengan modal uang atau barang-barang dagangan, dalam hal ini modal dan keuntungannya dihitung dan dijumlahkan. Pemikiran Muhammad Al-Ghazali yang demikian ini diterapkan dalam berbagai sector perusahaan seperti perhotelan, angkutan, pabrik beras/huller , garmen dan sebagainya yang mendapatkan keuntungan dari jasa atau pelayanan semata-mata. Nisabnya 12 kwintal gabah atau 7,20 kwintal beras  dan kadar zakatnya 5-10% (Fiqh al-Zakat, I:483 & 510)
Yusuf Qardhawi mempunyai pendapat lain, beliau mengakui betapa rendahnya nisab sector pertanian dan betapa beratnya kadar zakat yang diwajibkan, yaitu nisabnya 12 kwintal gabah X Rp 150.000,- = Rp 1.800.000,-  atau 7.20 kwintal beras X Rp 2500,- = Rp 1.800.000,- sedangkan kadar zakatnya 10%  yaitu 120 kg gabah atau 72 kg beras = Rp 180.000,-  atau paling sedikit 5% yaitu 60 kg gabah atau 36 kg beras = Rp 90.000,- (dengan perhitungan 5 wasaq X 60 sha’ X 4 mud X 0,6 kg dan setiap 1 kwintal gabah menghasilkan 60 kg beras). Yusup Qardhawi memberikan komentar barang kali Pembuat syari’at menghendaki demikian karena hasil pertanian menjadi bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Selanjutnya beliau menawarkan gagasan yang dianggapnya lebih tepat, yaitu bahwa hasil profesi disamakan dengan uang mas (al-nuqud), bukan dengan pertanian (al-zuru’). Alasannya karena gaji pegawai atau imbalan jasa profesi selalu dibayar dengan uang tunai. Dengan demikian nisabnya 90 gram emas atau              Rp 8.100.000,- (dengan perkiraan harga Rp 90.000,-/gram) dan kadar zakatnya 2,5% yaitu 2,25 gram atau Rp 202.500,- (1 misqal/dinar = 4,5 gram, maka               20 misqal/dinar = 90 gram, lihat Ensiklopedi Hukum Islam, 6:1991)
Pendapat Yusuf Qardhawi ini lebih mendekati jiwa nash (mafhum) yang membagi sumber pendapatan (income) menjadi dua bagian besar, pertama pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha yang baik-baik (min thayyibati ma kasabtum), kedua pendapatan yang diperoleh dari hasil eksploitasi kekayaan alam (min ma akhrajna lakum min al-ardhi). Maka menyamakan hasil profesi dengan hasil usaha yang baik-baik adalah lebih dekat jika dibandingkan dengan menyamakannya dengan hasil eksploitasi kekayaan alam. Alasan berikutnya bahwa menentukan batasan nisab dengan sector pertanian sebesar Rp 1.800.000,- dengan kadar zakat sebesar Rp 180.000,- atau Rp 90.000,- adalah memberatkan. Karena kaum tani yang memperoleh penghasilan 12 kwintal permusim (lebih kurang selama 4 bulan) adalah rendah, mungkin masih belum termasuk kategori orang kaya, apa lagi dengan membebankan kadar zakat yang cukup tinggi, yaitu 10%. Hal ini bertentangan dengan prinsip zakat, yaitu diambil dari orang kaya dan disalurkan kepada orang-orang miskin.
J.     Cara Menghitung Nisab
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa ada kalanya pegawai memperoleh gajinya secara rutin pada setiap bulan atau setiap minggu atau setiap dua minggu dan ada kalanya tidak menentu, misalnya seperti pengacara, konsultan, mediator, kontraktor, garmen dan sebagainya, mereka memperoleh penghasilan menunggu klien atau order yang masuk untuk dikerjakan. Untuk menghitung nisabnya ada dua cara:
1.            Nisab dihitung sesuai dengan gaji atau jasa profesi yang diterimanya. Apabila jumlahnya mencapai satu nisab, maka wajib bayar zakat, dan apabila jumlahnya tidak mencapai nisab, maka zakatnya tidak wajib dibayar. Dengan demikian zakat hanya dibebankan kepada pegawai tinggi dan para professional kelas menengah ke atas, tidak dibebankan kepada pegawi kecil yang menerima gaji atau hasil profesi pas-pasan. Ketentuan ini mempunyai landasan yang kuat sebagaimana telah dijelaskan oleh atsar Shahabat dan Tabi’in di atas.
2.            Dengan cara menjumlahkan seluruh pendapatan (income) baik dari gaji maupun dari jasa profesi yang diterima berturut-turut dalam waktu yang berdekatan. Karena dalam prakteknya amat sedikit jumlah pegawai atau pekerja profesional yang menerima gaji atau memperoleh imbalan jasa sebesar satu nisab (apabila diukur dengan nisab usaha perdagangan, yaitu Rp 8100.000,- tetapi apabila diukur dengan nisab pertanian hanya berkisar Rp 1800.000,-). Dengan demikian sebahagian besar dari pegawai dan para professional terlepas dari kewajiban zakat. Adapun mengenai landasan hukumnya ialah seperti yang ditetapkan oleh Ahli Fiqih dalam nisab harta ma’din, jumlah perolehan yang satu digabungkan dengan perolehan yang lain dalam rangka menggenapkan nisab. Ulama Ahli Fiqh memang berselisih mengenai hukumnya menggabungkan hasil-hasil pertanian dalam satu tahun. Ulama Hanabilan berpendapat bahwa hasil-hasil pertanian yang satu digabungkan dengan yang lain dalam satu tahun walaupun berbeda jenis dan lokasinya untuk menggenapkan nisab. Dengan landasan ini bahwa satu tahun merupakan satu kesatuan hukum yang utuh tak terpisahkan sebagaimana dalam ketentuan adanya haul. Maka penggabungan jumlah gaji dan honor-honor yang diterima dalam satu tahun dapat ditetapkan dalam rangka menghitung nisab walaupun kenyataannya dibayar secara bertahap pada setiap bulan atau setiap transaksi (Fiqh al-Zakat, I:514-515)
K.    Cara Mengeluarkan Zakatnya
Sebagaimana telah disebutkan di atas tentang cara penghitungan nisab, maka cara mengeluarkan zakatnya ada dua obsih :
1.            Menganalogkan zakat profesi dengan  zakat penghasilan bumi baik nisab maupun kadarnya karena kedua-duanya sama-sama hasil jasa. Maka nisabnya senilai Rp 1.800.000,- dan zakatnya Rp 180.000,- atau Rp 90.000,- dikeluarkan pada saat menerima gaji atau jasa profesi tersebut (wa’tu haqqahu yauma hashadih).
2.            Menganalogkan zakat profesi dengan zakat emas atau perdagangan secara mutlak, mengingat karena kedua-duanya berbentuk usaha (kasab al-’amal). Maka nisabnya Rp 8.100.000,- dan zakatnya Rp 202.500,- dengan memandang bahwa tahun adalah satu kesatuan hukum yang utuh tak terpisahkan (haul) dan seluruh pendapatan dalam tahun itu dijumlahkan dengan asumsi bahwa zakat adalah kewajiban yang dibebankan kepada nilai (al-qimah), bukan kepada materinya (al-’ain). Pembayarannya dapat dilaksanakan pada akhir tahun (haul) atau dicicil pada setiap menerima gaji atau hasil profesi (Fiqh al-Zakat,I:519-520).
3.            Ada pendapat lain yang mempertimbangkan kemaslahatan, yaitu menganalogkan nisab dengan zakat pengahsilan bumi (Rp 1.800.000,-), alasannya untuk memberikan kemaslahatan kepada mustahik, dan menganalogkan kadar zakat dengan zakat emas atau perdagangan (2,5% X 1.800.000,- =  Rp 45.000,-), alasanya untuk memberikan kemaslahatan kepada muzakki.
L.    Penutup
Masih banyak persoalan yang perlu dikaji dalam membahas “zakat profesi” ini, terutama yang menyangkut masalah teknis. Di samping kontroversi masalah haul, masalah penggabungan (al-dhamm) dan pembebanan wajib zakat apakah pada benda (wujub ‘ala al-’ain) ataukah pada nilai (wujub ‘ala al-qimah), juga masalah-masalah yang berhubungan dengan kebutuhan biaya operasional, kebutuhan keluarga dan pembayaran utang piutang makin sulit didefinisikan. Para Ulama mensyaratkan harta yang wajib dizakati adalah harta milik penuh, terlepas dari jeratan utang dan macam-macam kridit serta merupakan kelebihan dari kebutuhan hidup keluarganya. Sekarang sudah ada syarat tambahan, yaitu harus merupakan penghasilan bersih setelah dikurangi biaya-biaya operasional. Persyaratan-persyaratan ini adalah logic, karena dasarnya dari petunjuk Rasulullah SAW :
لا صدقة إلا عن ظهر غنى-رواه أحمد
Tidak ada kewajiban zakat kecuali dari kalangan orang kaya” (HR Ahmad)
Akan tetapi persoalannya adalah bagaimana mengukur kebutuhan-kebutuhan keluarga? Dalam teks-teks fikih kewajiban memberi nafkah kepada keluarga yang kaya (al-musir) hanya 2 mud dan keluarga miskin (al-mu’sir) 1 mud. Dari asumsi ini ketentuan membayar fidyah atas pelanggaran norma tertentu hanya disuruh memberi makan orang-orang miskin untuk masing-masingnya hanya 1 mud, berapa nilainya? Sementara kebutuhan keluarga sekarang sudah tak terukur, meliputi kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, listrik, kulkas, telephon, PAM dan lain-lainnya hingga sulit dihitung jumlahnya.
Belum lagi mengkaji masalah utang-piutang, pada zaman klasik kasus utang umumnya untuk menutupi kebutuhan primair yang sangat mendesak (dlaruriyat), tetapi sekarang menyentuh kebutuhan sekunder (hajiyat) bahkan kebutuhan tersier (tahsiniyat). Banyak perusahaan yang memiliki pinjaman lebih besar dari pada jumlah saham, dan banyak pula orang-orang yang mempunyai kridit mobil, rumah mewah dan fasilitas lain yang serba lux yang harus dibayar dalam jumlah yang sangat besar dan diangsur bertahun-tahun lamanya. Tidak wajib zakatkah mereka?
Marilah kita merenung, dan marilah kita mensyukuri nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepada kita, kemudian marilah kita beramal shaleh dan beramal shadaqah, minimalnya 2,5% dari rizki yang telah kita terima, mudah-mudahan Allah akan memberikan keberkahan-keberkahan kepada kita, sehingga rizkinya semakin bertambah dan amalnya semakin bertambah pula. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar