Minggu, 08 Januari 2012

Rahasia shalat 5 waktu

Ali bin Abi Talib r.a. berkata, “Sewaktu Rasullullah SAW duduk bersama para sahabat Muhajirin dan Ansar, maka dengan tiba-tiba datanglah satu rombongan orang-orang Yahudi lalu berkata, ‘Ya Muhammad, kami hendak bertanya kepada kamu kalimat-kalimat yang telah diberikan oleh Allah kepada Nabi Musa A.S. yang tidak diberikan kecuali kepada para Nabi utusan Allah atau malaikat muqarrab.’

Lalu Rasullullah SAW bersabda, ‘Silahkan bertanya.’

Berkata orang Yahudi, ‘Coba terangkan kepada kami tentang 5 waktu yang diwajibkan oleh Allah ke atas umatmu.’
Sabda Rasullullah saw, ‘Shalat Zuhur jika tergelincir matahari, maka bertasbihlah segala sesuatu kepada Tuhannya. Shalat Asar itu ialah saat ketika Nabi Adam a.s. memakan buah khuldi. Shalat Maghrib itu adalah saat Allah menerima taubat Nabi Adam a.s. Maka setiap mukmin yang bershalat Maghrib dengan ikhlas dan kemudian dia berdoa meminta sesuatu pada Allah maka pasti Allah akan mengkabulkan permintaannya. Shalat Isyak itu ialah shalat yang dikerjakan oleh para Rasul sebelumku. Shalat Subuh adalah sebelum terbit matahari. Ini kerana apabila matahari terbit, terbitnya di antara dua tanduk syaitan dan di situ sujudnya setiap orang kafir.’

Setelah orang Yahudi mendengar penjelasan dari Rasullullah saw, lalu mereka berkata, ‘Memang benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Katakanlah kepada kami apakah pahala yang akan diperoleh oleh orang yang shalat.’

Rasullullah SAW bersabda, ‘Jagalah waktu-waktu shalat terutama shalat yang pertengahan. Shalat Zuhur, pada saat itu nyalanya neraka Jahanam. Orang-orang mukmin yang mengerjakan shalat pada ketika itu akan diharamkan ke atasnya uap api neraka Jahanam pada hari Kiamat.’

Sabda Rasullullah saw lagi, ‘Manakala shalat Asar, adalah saat di mana Nabi Adam a.s. memakan buah khuldi. Orang-orang mukmin yang mengerjakan shalat Asar akan diampunkan dosanya seperti bayi yang baru lahir.’

Selepas itu Rasullullah saw membaca ayat yang bermaksud, ‘Jagalah waktu-waktu shalat terutama sekali shalat yang pertengahan. Shalat Maghrib itu adalah saat di mana taubat Nabi Adam a.s. diterima. Seorang mukmin yang ikhlas mengerjakan shalat Maghrib kemudian meminta sesuatu daripada Allah, maka Allah akan perkenankan.’

Sabda Rasullullah saw, ‘Shalat Isya’ (atamah). Katakan kubur itu adalah sangat gelap dan begitu juga pada hari Kiamat, maka seorang mukmin yang berjalan dalam malam yang gelap untuk pergi menunaikan shalat Isyak berjamaah, Allah S.W.T haramkan dirinya daripada terkena nyala api neraka dan diberikan kepadanya cahaya untuk menyeberangi Titian Sirath.’

Sabda Rasullullah saw seterusnya, ‘Shalat Subuh pula, seseorang mukmin yang mengerjakan shalat Subuh selama 40 hari secara berjamaah, diberikan kepadanya oleh Allah S.W.T dua kebebasan yaitu:
1. Dibebaskan daripada api neraka.
2. Dibebaskan dari nifaq.

Setelah orang Yahudi mendengar penjelasan daripada Rasullullah saw, maka mereka berkata, ‘Memang benarlah apa yang kamu katakan itu wahai Muhammad (saw). Kini katakan pula kepada kami semua, kenapakah Allah S.W.T mewajibkan puasa 30 hari ke atas umatmu?’

Sabda Rasullullah saw, ‘Ketika Nabi Adam memakan buah pohon khuldi yang dilarang, lalu makanan itu tersangkut dalam perut Nabi Adam a.s. selama 30 hari. Kemudian Allah S.W.T mewajibkan ke atas keturunan Adam a.s. berlapar selama 30 hari.

Sementara diizin makan di waktu malam itu adalah sebagai kurnia Allah S.W.T kepada makhluk-Nya.’

Kata orang Yahudi lagi, ‘Wahai Muhammad, memang benarlah apa yang kamu katakan itu. Kini terangkan kepada kami mengenai ganjaran pahala yang diperolehi daripada berpuasa itu.’

Sabda Rasullullah saw, ‘Seorang hamba yang berpuasa dalam bulan Ramadhan dengan ikhlas kepada Allah S.W.T, dia akan diberikan oleh Allah S.W.T 7 perkara:

1. Akan dicairkan daging haram yang tumbuh dari badannya (daging yang tumbuh daripada makanan yang haram).
2. Rahmat Allah sentiasa dekat dengannya.
3. Diberi oleh Allah sebaik-baik amal.
4. Dijauhkan daripada merasa lapar dan dahaga.
5. Diringankan baginya siksa kubur (siksa yang amat mengerikan).
6. Diberikan cahaya oleh Allah S.W.T pada hari Kiamat untuk menyeberang Titian Sirath.
7. Allah S.W.T akan memberinya kemudian di syurga.’


Kata orang Yahudi, ‘Benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Katakan kepada kami kelebihanmu di antara semua para nabi.’

Sabda Rasullullah saw, ‘Seorang nabi menggunakan doa mustajabnya untuk membinasakan umatnya, tetapi saya tetap menyimpankan doa saya (untuk saya gunakan memberi syafaat kepada umat saya di hari kiamat).’

Kata orang Yahudi, ‘Benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Kini kami mengakui dengan ucapan Asyhadu Alla illaha illallah, wa annaka Rasulullah (kami percaya bahawa tiada Tuhan melainkan Allah dan engkau utusan Allah).’


Sedikit peringatan untuk kita semua: “Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Surah Al-Baqarah: ayat 155)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (Surah Al-Baqarah: ayat 286)

hukum ucapkan selamat natal

Umat Islam tentu meyakini misi rahmatan lil-‘alamin, sebab  istilah rahmatan lil-‘alamin telah dinyatakan oleh al-Qur’an. Istilah rahmatan lil-‘alamin dipetik dari salah satu ayat al-Qur’an; وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Ma maa arsalnaaka illaa rahmatan lil-‘aalamiin (Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam).” (QS al-Anbiya’ : 107).
Dalam ayat itu,  “rahmatan lil-‘alamin” secara tegas dikaitkan dengan kerasulan Nabi Muhammad saw. Artinya, Allah tidaklah menjadikan Nabi saw sebagai rasul, kecuali karena kerasulan beliau menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena rahmat yang diberikan Allah kepada semesta alam ini dikaitkan dengan kerasulan Nabi saw, maka umat manusia dalam menerima bagian dari rahmat tersebut berbeda-beda. Ada yang menerima rahmat tersebut dengan sempurna, dan ada pula yang menerima rahmat tersebut tidak sempurna.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sahabat Nabi Salallahu 'Alaihi Wa Sallam, pakar dalam Ilmu Tafsir menyatakan: “Orang yang beriman kepada Nabi saw, maka akan memperoleh rahmat Allah dengan sempurna di dunia dan akhirat. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Nabi saw, maka akan diselamatkan dari azab yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu ketika masih di dunia seperti dirubah menjadi hewan atau dilemparkan batu dari langit.”
Demikian penafsiran yang dinilai paling kuat oleh al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsirnya, al-Durr al-Mantsur.
Penafsiran di atas diperkuat dengan hadits shahih yang menegaskan bahwa rahmatan lil-‘alamin telah menjadi karakteristik Nabi saw dalam dakwahnya. Ketika sebagian sahabat mengusulkan kepada beliau, agar mendoakan keburukan bagi orang-orang Musyrik, Nabi saw menjawab: “Aku diutus bukanlah sebagai pembawa kutukan, tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat.” (HR. Muslim).
Penafsiran di atas memberikan gambaran, bahwa karakter rahmatan lil-‘alamin memiliki keterkaitan sangat erat dengan kerasulan Nabi saw. Dalam kitab-kitab Tafsir, tidak ditemukan keterkaitan makna rahmatan lil-‘alamin dengan sikap toleransi yang berlebih-lebihan dengan komunitas non-Muslim. Ini berangkat dari kenyataan bahwa rahmatan lil-‘alamin sangat erat kaitannya dengan kerasulan Nabi saw, yakni penyampaian ajaran Islam kepada umatnya.
Maka seorang Muslim, dalam menghayati dan menerapkan pesan Islam rahmatan lil-‘alamin tidak boleh menghilangkan misi dakwah yang dibawa oleh Islam itu sendiri. Misalnya, memberikan khotbah dalam acara kebaktian agama lain, menjaga keamanan tempat ibadah agama lain dan acara ritual agama lain, atau doa bersama lintas agama dengan alasan itu adalah “Islam rahmatan lil-‘alamin”.   Kegiatan-kegiatan semacam itu justru mengaburkan makna rahmatan lil-‘alamin yang berkaitan erat dengan misi dakwah Islam.
Sebagaimana dimaklumi, selain sebagai rahmatan lil-‘alamin, Nabi saw diutus juga bertugas sebagai basyiiran wa nadziiran lil-‘aalamiin (pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan kepada seluruh alam).
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. al-Furqan : 1).
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (basyiiran wa nadziiran), tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’ : 28).
Sebagai pengejawantahan dari ayat-ayat ini, seorang Muslim dalam interaksinya dengan orang lain, selain harus menerapkan watak rahmatan lil-‘alamin, juga bertanggungjawab menyebarkan misi basyiran wa nadziran lil-‘alamin.
Islam tidak melarang umatnya berinteraksi dengan komunitas agama lain. Rahmat Allah yang diberikan melalui Islam, tidak mungkin dapat disampaikan kepada umat lain, jika komunikasi dengan mereka tidak berjalan baik.
Karena itu, para ulama fuqaha dari berbagai madzhab membolehkan seorang Muslim memberikan sedekah sunnah kepada non Muslim yang bukan kafir harbi. Demikian pula sebaliknya, seorang Muslim diperbolehkan menerima bantuan dan hadiah yang diberikan oleh non Muslim.
Para ulama fuqaha juga mewajibkan seorang Muslim memberi nafkah kepada istri, orang tua dan anak-anak yang non Muslim.
Di sisi lain, karena seorang Muslim bertanggungjawab menerapkan basyiran wa nadziran lil-‘alamin, Islam melarang umatnya berinteraksi dengan non Muslim dalam hal-hal yang dapat menghapus misi dakwah Islam terhadap mereka.
Mayoritas ulama fuqaha tidak memperbolehkan seorang Muslim menjadi pekerja tempat ibadah agama lain, seperti menjadi tukang kayu, pekerja bangunan dan lain sebagainya, karena hal itu termasuk menolong orang lain dalam hal kemaksiatan, ciri khas dan syiar agama mereka yang salah dalam pandangan Islam.
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Ma’idah : 2).

Doa Lintas Agama
Doa bersama lintas agama, dewasa ini juga agak marak dilakukan. Sebagian beralasan Islam rahmatan lil-‘alamin.  Padahal, karakter rahmatan lil-‘alamin, sebenarnya tidak ada kaitannya dengan doa bersama lintas agama. Sebagaimana dimaklumi, doa merupakan inti dari pada ibadah (mukhkhul ‘ibadah), yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhan.
Tidak jarang, seorang Muslim berdoa kepada Allah, dengan harapan memperoleh pertolongan agar segera keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi. Tentu saja, ketika seseorang berharap agar Allah segera mengabulkan doanya, ia harus lebih berhati-hati, memperbanyak ibadah, bersedekah, bertaubat dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya. Dalam hal ini, semakin baik jika ia memohon doa kepada orang-orang saleh yang dekat kepada Allah. Hal ini sebagaimana telah dikupas secara mendalam oleh para ulama fuqaha dalam bab shalat istisqa’ (mohon diturunkannya hujan) dalam kitab-kitab fiqih.
Ada dua pendapat di kalangan ulama fuqaha, tentang hukum menghadirkan kaum non Muslim untuk doa bersama dalam shalat istisqa’.
Pertama, menurut mayoritas ulama (madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali), tidak dianjurkan dan makruh menghadirkan non Muslim dalam doa bersama dalam shalat istisqa’. Hanya saja, seandainya mereka menghadiri acara tersebut dengan inisiatif sendiri dan tempat mereka tidak berkumpul dengan umat Islam, maka itu tidak berhak dilarang.
Kedua, menurut madzhab Hanafi dan sebagian pengikut Maliki, bahwa non Muslim tidak boleh dihadirkan atau hadir sendiri dalam acara doa bersama shalat istisqa’, karena mereka tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan berdoa. Doa istisqa’  ditujukan untuk memohon turunnya rahmat dari Allah, sedangkan rahmat Allah tidak akan turun kepada mereka. Demikian kesimpulan pendapat ulama fuqaha dalam kitab-kitab fiqih. Maka, jika doa diharapkan mendatangkan rahmat dari Allah, sebaiknya didatangkan orang-orang saleh yang dekat kepada Allah, bukan mendatangkan orang-orang yang yang jauh dari kebenaran.
Forum Bahtsul Masail al-Diniyah al-Waqi’iyyah Muktamar NU di PP Lirboyo Kediri, 21-27 November 1999, menyatakan, bahwa “Doa Bersama Antar Umat Beragama” hukumnya haram. Diantara dalil yang mendasarinya: Kitab Mughnil Muhtaj, Juz I hal. 232: “Wa laa yajuuzu an-yuammina ‘alaa du’aa-ihim kamaa qaalahu ar-Rauyani li-anna du’aal kaafiri ghairul maqbuuli.” (Lebih jauh, lihat:  Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), penerbit: Lajtah Ta’lif wan-Nasyr, NU Jatim, cet.ke-3, 2007, hal. 532-534). Wallahu a’lam.*
Penulis adalah Pengurus Lajnah Ta’lif  wan Nasyr PWNU Jawa Timur. Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 15 Desember 2011 dengan judul “Rahmatan Lil-‘Alamin dan Toleransi”

HUKUM GAJI BUTA

Bagaimana pandangan fiqih terhadap karyawan eksekutif atau bahkan anggota dewan yang menerima gaji tapi jarang masuk kerja atau ikut sidang dengan kata lain makan gaji buta ?

Jawab : Halal jika udzur meninggalkan tugasnya karena adanya udzur syar'i.
(Hasil Mu'tamar NU ke-25 tanggal 27 Jumadil Ula 1398 H di Surabaya 1971 M yang telah di himpun dalam kitab hasil-hasil Mu'tamar NU kitab Ahkamul fuqoha' hal 344).
وعبارتها :
- الموسوعة الفقهية : 21 . 206
وَالصِّنْفُ الثَّانِي : الَّذِينَ انْتَصَبُوا لِإِقَامَةِ أَرْكَانِ الدِّينِ , وَانْقَطَعُوا بِسَبَبِ اشْتِغَالِهِمْ وَاسْتِقْلَالِهِمْ بِهَا عَنْ التَّوَسُّلِ إلَى مَا يُقِيمُ أَوَدَهُمْ وَيَسُدُّ خَلَّتَهُمْ , وَلَوْلَا قِيَامُهُمْ بِمَا لَابَسُوهُ لَتَعَطَّلَتْ أَرْكَانُ الْإِيمَانِ . فَعَلَى الْإِمَامِ أَنْ يَكْفِيَهُمْ مُؤَنَهُمْ حَتَّى يَسْتَرْسِلُوا فِيمَا تَصَدَّرُوا لَهُ بِفَرَاغِ جَنَانٍ , وَتَجَرُّدِ أَذْهَانٍ , وَهَؤُلَاءِ هُمْ الْقُضَاةُ وَالْحُكَّامُ وَالْقُسَّامُ وَالْمُفْتُونَ وَالْمُتَفَقِّهُونَ , وَكُلُّ مَنْ يَقُومُ بِقَاعِدَةٍ مِنْ قَوَاعِدِ الدِّينِ يُلْهِيهِ قِيَامُهُ بِهَا عَمَّا فِيهِ سَدَادُهُ وَقِوَامُهُ . فَأَمَّا الْمُرْتَزِقَةُ فَالْمَالُ الْمَخْصُوصُ بِهِمْ أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ , وَالصِّنْفُ الثَّانِي يُدِرُّ عَلَيْهِمْ كِفَايَتَهُمْ وَأَرْزَاقَهُمْ مِنْ سَهْمِ الْمَصَالِحِ ( ر : بَيْتُ الْمَالِ ) .
- الموسوعة الفقهية : 21 . 204
قَالَ الْقَرَافِيُّ أَيْضًا : الْإِقْطَاعَاتُ الَّتِي تُجْعَلُ لِلْأُمَرَاءِ وَالْأَجْنَادِ مِنْ الْأَرَاضِي الْخَرَاجِيَّةِ وَغَيْرِهَا مِنْ الرِّبَاعِ هِيَ أَرْزَاقُ بَيْتِ الْمَالِ , وَلَيْسَتْ إجَارَةً لَهُمْ , لِذَلِكَ لَا يُشْتَرَطُ فِيهَا مِقْدَارٌ مِنْ الْعَمَلِ وَلَا أَجَلٌ تَنْتَهِي إلَيْهِ الْإِجَارَةُ , وَلَيْسَ الْإِقْطَاعُ مُقَدَّرًا كُلَّ شَهْرٍ بِكَذَا , وَكُلَّ سَنَةٍ بِكَذَا حَتَّى تَكُونَ إجَارَةً , بَلْ هُوَ إعَانَةٌ عَلَى الْإِطْلَاقِ , وَلَكِنْ لَا يَجُوزُ تَنَاوُلُهُ إلَّا بِمَا قَالَهُ الْإِمَامُ مِنْ الشَّرْطِ مِنْ التَّهَيُّؤِ لِلْحَرْبِ , وَلِقَاءِ الْأَعْدَاءِ , وَالْمُنَاضَلَةِ عَلَى الدِّينِ , وَنُصْرَةِ كَلِمَةِ الْإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِينَ , وَالِاسْتِعْدَادِ بِالسِّلَاحِ وَالْأَعْوَانِ عَلَى ذَلِكَ . فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ مَا شَرَطَهُ الْإِمَامُ مِنْ ذَلِكَ لَمْ يَجُزْ لَهُ التَّنَاوُلُ ; لِأَنَّ مَالَ بَيْتِ الْمَالِ لَا يُسْتَحَقُّ إلَّا بِإِطْلَاقِ الْإِمَامِ عَلَى ذَلِكَ الْوَجْهِ الَّذِي أَطْلَقَهُ .
- الموسوعة الفقهية : 21 . 205
وَظَائِفُ الْإِمَامِ فِي الْقِسْمَةِ عَلَى أَهْلِ الْجِهَادِ مِنْ الْمُرْتَزِقَةِ : لِلْإِمَامِ فِي الْقِسْمَةِ عَلَى أَهْلِ الْجِهَادِ مِنْ الْمُرْتَزِقَةِ وَظَائِفُ : 10 - إحْدَاهَا : يَضَعُ دِيوَانًا - وَهُوَ الدَّفْتَرُ الَّذِي يُثْبِتُ فِيهِ الْأَسْمَاءَ - فَيُحْصِي الْمُرْتَزِقَةَ بِأَسْمَائِهِمْ وَيَنْصِبُ لِكُلِّ قَبِيلَةٍ أَوْ عَدَدٍ يَرَاهُ عَرِيفًا لِيَعْرِضَ عَلَيْهِ أَحْوَالَهُمْ وَيَجْمَعَهُمْ عِنْدَ الْحَاجَةِ وَيُثْبِتَ فِيهِ قَدْرَ أَرْزَاقِهِمْ . 11 - الثَّانِيَةُ : يُعْطِي كُلَّ شَخْصٍ قَدْرَ حَاجَتِهِ فَيَعْرِفُ , وَعَدَدَ مَنْ فِي نَفَقَتِهِ , وَقَدْرَ نَفَقَتِهِمْ وَكِسْوَتِهِمْ وَسَائِرِ مُؤْنَتِهِمْ , وَيُرَاعِي الزَّمَانَ وَالْمَكَانَ وَمَا يَعْرِضُ مِنْ رُخْصٍ وَغَلَاءٍ , وَحَالِ الشَّخْصِ فِي مُرُوءَتِهِ وَضِدِّهَا , وَعَادَةِ الْبَلَدِ فِي الْمَطَاعِمِ , فَيَكْفِيهِ الْمُؤْنَاتِ لِيَتَفَرَّغَ لِلْجِهَادِ فَيُعْطِيَهُ لِأَوْلَادِهِ الَّذِينَ هُمْ فِي نَفَقَتِهِ أَطْفَالًا كَانُوا أَوْ كِبَارًا , وَكُلَّمَا زَادَتْ الْحَاجَةُ بِالْكِبَرِ زَادَ فِي حِصَّتِهِ . 12 - الثَّالِثَةُ : يُسْتَحَبُّ أَنْ يُقَدِّمَ الْإِمَامُ فِي الْإِعْطَاءِ وَفِي إثْبَاتِ الِاسْمِ فِي الدِّيوَانِ قُرَيْشًا عَلَى سَائِرِ النَّاسِ . 13 - الرَّابِعَةُ : لَا يُثْبِتُ الْإِمَامُ فِي الدِّيوَانِ اسْمَ صَبِيٍّ وَلَا مَجْنُونٍ وَلَا امْرَأَةٍ , وَلَا ضَعِيفٍ لَا يَصْلُحُ لِلْغَزْوِ كَالْأَعْمَى وَالزَّمِنِ , وَإِنَّمَا هُمْ تَبَعٌ لِلْمُقَاتِلِ إذَا كَانُوا فِي عِيَالِهِ يُعْطِي لَهُمْ كَمَا سَبَقَ , وَإِنَّمَا يُثْبِتُ فِي الدِّيوَانِ الرِّجَالَ الْمُكَلَّفِينَ الْمُسْتَعِدِّينَ لِلْغَزْوِ . وَلَخَّصَ الْمَاوَرْدِيُّ وَأَبُو يَعْلَى شَرْطَ إثْبَاتِ الْجَيْشِ فِي الدِّيوَانِ فِي خَمْسَةِ أَوْصَافٍ وَهِيَ : الْبُلُوغُ , وَالْحُرِّيَّةُ , وَالْإِسْلَامُ , وَالسَّلَامَةُ مِنْ الْآفَاتِ الْمَانِعَةِ مِنْ الْقِتَالِ , وَالِاسْتِعْدَادُ لِلْإِقْدَامِ عَلَى الْحُرُوبِ . 14 - الْخَامِسَةُ : يُفَرِّقُ الْإِمَامُ الْأَرْزَاقَ فِي كُلِّ عَامٍ مَرَّةً وَيَجْعَلُ لَهُ وَقْتًا مَعْلُومًا لَا يَخْتَلِفُ , وَإِذَا رَأَى مَصْلَحَةً أَنْ يُفَرِّقَ مُشَاهَرَةً وَنَحْوَهَا فَعَلَ . وَإِذَا تَأَخَّرَ الْعَطَاءُ عَنْهُمْ عِنْدَ اسْتِحْقَاقِهِ وَكَانَ حَاصِلًا فِي بَيْتِ الْمَالِ كَانَ لَهُمْ الْمُطَالَبَةُ بِهِ كَالدُّيُونِ الْمُسْتَحَقَّةِ . وَمَنْ مَاتَ مِنْ الْمُرْتَزِقَةِ دَفَعَ إلَى زَوْجَتِهِ وَأَوْلَادِهِ الصِّغَارِ قَدْرَ كِفَايَتِهِمْ ; لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ تُعْطَ ذُرِّيَّتُهُ بَعْدَهُ لَمْ يُجَرِّدْ نَفْسِهِ لِلْقِتَالِ ; لِأَنَّهُ يَخَافُ عَلَى ذُرِّيَّتِهِ الضَّيَاعَ , فَإِذَا عَلِمَ أَنَّهُمْ يُكْفَوْنَ بَعْدَ مَوْتِهِ سَهُلَ عَلَيْهِ ذَلِكَ . وَإِذَا بَلَغَ ذُكُورُ أَوْلَادِهِمْ وَاخْتَارُوا أَنْ يَكُونُوا فِي الْمُقَاتِلَةِ فَرَضَ لَهُمْ الرِّزْقَ وَإِنْ لَمْ يَخْتَارُوا تُرِكُوا . وَمَنْ بَلَغَ مِنْ أَوْلَادِهِ وَهُوَ أَعْمَى أَوْ زَمِنٌ رُزِقَ كَمَا كَانَ يُرْزَقُ قَبْلَ الْبُلُوغِ , هَذَا فِي ذُكُورِ الْأَوْلَادِ أَمَّا الْإِنَاثُ فَمُقْتَضَى مَا وَرَدَ فِي " الْوَسِيطِ " أَنَّهُنَّ يُرْزَقْنَ إلَى أَنْ يَتَزَوَّجْنَ

memanfaatkan benda milik masjid

Sebab dalam agama Islam, barang yang sudah diwakafkan, itu tidak boleh dijual atau diberikan kepada orang lain, sebagaimana tersebut dalam kitab fiqh. Sehingga jika meminjam barang wakaf masjid misalnya pengeras suara kita bawa pulang kemudian kita setel (kita pakai) di rumah kita, maka hukumnya haram (yang diterjemahkan oleh orang-orang di kampung saudara dengan kata 'ora apik')
Adapun jika saudara menanyakan mana yang lebih baik, apakah benda-benda bekas masjid tersebut dibiarkan saja sampai hancur tanpa guna ataukah dimanfaatkan?
Jika kita mau memakai madzhab Syafi'i dan tidak mau berpindah ke madzhab lain dalam masalah ini, maka benda-benda tersebut harus kita biarkan saja sampai hancur dengan sendirinya. Atau diberikan ke masjid lain yang memerlukannya.
Jika orang-orang kampung Anda mau berpindah ke madzhab Hanafi, maka benda-benda tersebut dapat kita tukarkan dengan benda lain yang dapat dimanfaatkan oleh masjid tersebut dengan syarat-syarat tertentu. Sebagaimana disebutkan dalam fiqh-fiqh Hanafi, misalnya kitab Raddul Mukhtar juz 3 hal 387.

shalat dengan dua imam

bagaimana hukumnya dalam agama, bila ada satu jamaah salat yang terdiri dari dua orang imam?

Jawaban:
Sebelum kami menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kami beritahukan bahwa sejak zaman Rasulullah saw sampai dengan zaman Khulafaurrasyidin, yang menjadi imam di Masjid adalah kepala negara. Sehingga dalam kitab-kitab fiqh istilah "imam" terutama dalam pengangkatan amil zakat adalah berarti kepala negara.
Dengan demikian, imam salat berjamaah dalam sebuah masjid atau musalla dalam suatu waktu kita gambarkan sebagai seorang kepala negara pada suatu daerah pada waktu tertentu.
Jadi jika dalam sebuah musalla ada seorang imam telah melakukan salat berjamaah, kemudian ada rombongan lain yang datang ke musalla tersebut tidak mengikuti jamaah yang telah ada melainkan melakukan jamaah salat sendiri di musalla tersebut pada waktu yang bersamaan, maka imam beserta jamaah yang kedua itu dapat diibaratkan sebagai orang-orang yang mendirikan negara dalam satu negara pada waktu yang bersamaan atau pemberontak. Seperti Kartosuwiryo yang mendirikan negara Islam di negara RI yang saha.
Perlu pula kami beritahukan bahwa apa yang dilakukan oleh sang sarjana di musalla Al Mukarromah tersebut adalah merupakan bukti bahwa dia kurang bisa menguasai bahasa al Quran, sehingga tidak dapat memahami kitab hadist dan fiqh. Sebab seandainya dia pandai ilmu agama, maka:
  1. Jika memang dia orang yang alim, sedangkan imam yang ada berbeda madzhab, dia memang tidak sah bermakmum kepada imam yang berbeda madzhab tersebut. Akan tetapi dia tidak akan bertindak menjadi imam untuk melakukan salat jamaah sendiri beserta pengikutnya sebelum imam yang pertama selesai salam.
  2. Atau misalnya imam dari takmir musalla Al Mukarromah tersebut orang yang tidak pandai agama (tidak bisa baca fatihah) sedang sang sarjana merasa sangat alim, sehingga merasa tidak sah makmum kepada imam dari takmir, diapun tidak akan melakukan salat berjamaah sendiri dalam satu tempat pada waktu yang sama (silakan membaca kitab Kasifatus Saja bab salat berjamaah, kitab al Muhadzdzab juz I hal 98 tentang orang yang patut menjadi imam dalam salat berjamaah, kitab Kifayatul Akhyar juz I hal 133 tentang rombongan yang baru datang ketempat orang-orang yang sedang melakukan salat berjamaah dan kitab I'anatut Thalibin Juz 2 hal 11 tentang cara melakukan salat berjamaah sendiri jika tidak setuju dengan imam yang telah ada).
Di sini kami tidak perlu menuliskan ibarat dari kitab tersebut, karena khawatir dianggap menggurui. Kepada jamaah musalla al Mukarromah, kami himbau supaya makmum kepada imam yang pertama. Sedang imam yang kedua harus dihindari, karena dia tergolong pemecah belah ummat.

HAID TIDAK TERATUR

  1. Bagaimana hukum darah yang keluar tersebut pak Kyai?
  2. Apakah semua darah yang keluar dihukumi haid?
  3. Apakah saya wajib menunaikan salat disela-sela suci haid (misalnya maghrib dan isya keluar darah, kemudian subuh, dzuhur, ashar, maghrib suci?). Bagaimana hukum jika berpuasa?
  4. Apakah saya wajib mandi besar/junub setiap menunaikan salat?
  5. Apakah saya wajib qodlo setiap salat yang saya tinggalkan karena keluar darah?
  6. Bila masa haid 15 hari itu dihitung kurang dari sehari semalam, salat wajib qodlo atau ada amalan lain yang wajib saya jalankan?
  7. Bagaimana pandangan Islam pada KB yang menyebabkan demikian ini. Dibenarkan atau dihindari?
Jawaban:
Ibu yang terhormat sebelum kami menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu saya tuliskan ibarat dari kitab At-Tadzhib syarah dari kitab matan Al-Ghoyah wat Taqrib sebagai berikut:
فَالحَيْضُ هُوَ الدَمُ الخاَرِجُ مِن فَرْجِ المَرْأَةِ عَلَى سَبِيِل الصِّحَّةِ مِنْ غَيْرِ سَبَبِ الوِلاَدَةِ وَلَونُهُ أسْوَدُ مُحْتَدِمٌ لَذَّاعٌ
Haid itu adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita berdasarkan jalan kesehatan, tanpa sebab melahirkan. Dan warnanya kehitam-hitaman, terasa panas dan diikuti mual-mual pada perut.
رَوَى أبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ حُبَيْسٍ أنَّهَا كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُ e: إذَا كَانَ دَمُ الحَيْضَةِ فَإنَّهُ دَمٌ أسْوَدُ يُعْرَفُ فَإذَا كَانَ ذَلِكَ فَأمْسِكِى عَنْ الصَّلاةِ فَإِذَا كَانَ الأَخَرُ فَتَوَضَئِ فَإنَّما هُوَ عِرْقٌ.
Imam Abu Dawud dan lainnya telah meriwayatkan dari Fatimah binti Abi Hubaisy, bahwa dia sedang istihadlah (pendarahan karena penyakit) kemudian Nabi Muhammad saw bersabda kepadanya:?Jika darah haid maka darah itu kehitam-hitaman yang telah dikenal para wanita. Jika darah itu demikian, maka tahanlah dirimu dari melakukan salat dan jika warna tidak demikian maka berwudlulah dan bersalatlah, karena darah tersebut adalah cucuran darah.?
وَأَقَلُّ الحَيْضِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَأكْثَرُه خَمْسَةَ عَشَرَ يَوُمًا وغَالِبُهُ سِتٌّ اَو سَبْعٌ.
Haid itu paling sedikit adalah sehari semalam, dan paling lama adalah lima belas hari sedang umumnya adalah enam atau tujuh hari.
  1. Berdasarkan ibarat diatas, maka dapat kita ketahui:
  2. Darah yang keluar lebih dari 15 hari meskipun warnanya kecoklat-coklatan umpamanya, maka yang lima belas hari dihukumi darah haid, sedang selebihnya dihukumi darah istihadlah/penyakit.
  3. Tidak semua darah yang keluar dari kemaluan wanita dihukumi darah haid, terutama yang berwarna merah atau kuning jambon.
  4. Jika darah yang keluar itu adalah darah haid (warna kehitaman atau kecoklatan, keluar terasa panas dan terkadang diikuti perut terasa mual dan tidak lebih dari lima belas hari), maka Anda tidak boleh melakukan salat, dan otomatis puasa yang Anda lakukan menjadi batal.
  5. Jika darah itu keluar kurang dari 15 hari dari masa suci, maka darah tersebut hukumnya adalah darah istihadlah, sebab masa suci itu paling sedikit 15 hari.
  6. Bila masa keluar darah selama 15 hari itu dihitung kurang dari 24 jam (sehari semalam), maka hukumnya adalah darah istihadlah.
  7. Jika yang keluar itu darah haid, maka setelah suci (berhenti), Anda wajib mandi besar dari haid (bukan mandi junub, karena mandi junub bagi wanita itu antara lain setelah bersenggama) dengan niat sebagai berikut:?saya berniat mandi untuk menghilangkan hadast besar dari haid fardhan lillahi taala.?
  8. Untuk darah yang keluar selain darah haid, maka Anda tidak perlu mandi, tetapi cukup membersihkan darah (cebok-jw) lalu memakai kain pembalut saja, kemudian wudlu dan melakukan salat. Setiap melakukan salat, kain pembalut harus diganti setelah membersihkan darah dan berwudlu.
  9. Jika ikut KB dengan cara suntik yang Anda ikuti berakibat masa haid Anda tidak teratur, sebaiknya Anda pindah ke cara lainnya. Misalnya dengan memakai susuk atau minum pil kalau memang tidak membawa akibat yang negatif, asal jangan dengan memakai spiral, karena memakai spiral ini pemasangannya masih dipandang haram oleh para ulama.

Kamis, 05 Januari 2012

shorof bag.5

الدرس الثاني عشر
أمر الغائب وكيفية بنائه
الأمثلة
1)   لِيَكْتُبْ عليّ درسه
1)  لِتَكْتُبْ فاطمة درسها
2)  الأخوان لِيَكْتُبَا درسهما
3)  المؤمنون لِيَخْدِمُوا الوطن
4)  البنات لِيَكْتُبْنَ درسهن
5)  فَلْيَقُلْ خيرًا
6)  ثمّ لْيَقْضُوا تفثهم
7)  وَلْيُوفُوا نُذُورهم
البحث
اذا تأملنا كلمة ’لِيَكْتُبْ‘ في المثال الأول نجد انه فعل مضارع ل’كتب‘ ولكن يدل على طلب وقوع الفعل من الفاعل في زمن الإستقبال. وقد درسنا قبل ان الفعل الذي يدل على طلب وقوع الفعل من الفاعل في زمن الإستقبال يسمى الأمر. ودرسنا كيفية بنائه. ولكنا نجده هنا مخالفا في كيفية بنائه فنراه هنا فعلا مضارعا وقد سبقه لام مكسور. وكذلك الحال في جميع الأفعال في الأمثلة سوى في الأمثلة الثلاثة الأخيرة، فهو ساكن فيها لكونها مسبوقا بالفاء وثم والواو، كما ترى. والفرق بين الأمر هنا والأمر هناك هو ان طلب وقوع الفعل هنا من فاعل غائب، بخلاف الأمر هناك، فإنه من المخاطب، كما علمت. فهذا الأمر – الذي يدل على طلب وقوع الفعل من الغائب – يسمّى أمر الغائب.
أما اذا تأملنا أواخر هذه الأفعال فنجدها إما ساكنة أو محذوفة النون، كما بينا في أمر الحاضر. فإذا تتبعنا كل فعل من هذا النوع نجده على صورة المضارع مسبوقا بلام مكسور أو ساكن إذا سبقه فآء أو ثم أو واو.
القاعدة:
·         الفعل الذي يدل على طلب وقوع الفعل من الفاعل الغائب يسمى أمر الغائب.
·         يبني صيغ الغائبة من المضارع بإبدال الحركة بالسكون إذا لم يكن في آخره نون، وبحذف النون إن كان في آخره
·         ويزاد في أوله لام مكسور وهذا اللام يكون ساكنا إذا سبقه فآء أو ثم أو واو.
نموذج تصريف أمر الغائب

المفرد
المثنى
الجمع
المذكر
لِيَفْعَلْ
لِيَفْعَلاَ
لِيَفْعَلُوا
المؤنث
لِتَفْعَلْ
لِتَفْعَلاَ
لِيَفْعَلْنَ

التمرينات
عين أفعال أمر الغائب في العبارات الآتية:
1)   لِتَأْكُلْ عائشة طعامها بعد الظهر
2)   يا جارية، اِغْسِلِي الثوب
3)   النساء لم يخرجنَ إلى السوق
4)   العمال يفرحون بأجورهم
5)   فَلْيَنْظُر الإنسان إلى طعامه
6)   أفلا ينظرون إلى الإبل كيف خلقت
7)   ولْيسترن رؤوسهن
8)   ولْيقف الرجال أمام البيت
9)   ولْيشهد عذابهما طائفة
10) ولْيَحْكُمْ أهل الإنجيل بما أنزل الله
اجعل الأفعال الآتية أمر الغائب:
1)   يشهد         2)  يجمعان    3)  يأخذون
4)   يحفظن      5)  تستر
اجعل أمر الغائب مضارعا في الكلمات الآتية:
1)   لِيَصْرِفْ     2)  لِيبلغا       3)  لِيَسْكنُوا
4)   لِتَسْكُتْ       5)  لِيَصْرَخْنَ
ضع كلمة مناسبة مما بين القوسين في كل مكان خال مما يأتي:
1)   و........... الرجال خلف الإمام      (ليقفوا،  لِيَقِفْ)
2)   ........... فاطمة ماء كثيرا أيام الصيف         (ليضربن،  لِتشربْ)
3)   و........... بخمرهن على جيوبهن   (ليضربن،  لِتضْرِبن)
4)   و ........... طعامهم قبل العشاء     (ليأكُلْ،  لِيأكلوا)
5)   ........... الطالب مساء                (لتلعب،  ليلعب)
اجعل الأفعال الآتية أمر الغائب ثم أسندها إلى الضمائر:
1)   قطع          2)  رَسَمَ        3)  حفظ

v


الدرس الرابع عشر
النهي وكيفية بنائه
الأمثلة
1)   يا محمد، لاَ تَأْكُلْ وأنت قائم
  يا فاطمة، لاَ تَأْكُلِي وأنتِ قائمة
  يا محمد وخالد، لاَ تَأْكُلاَ وأنتما قائمان
ها الرجال، لاَ تَأْكُلُوا وأنتم قائمون
يا نساء، لاَ تَأْكُلْنَ وأنتن قائمات

  لاَ يَجْلِسْ محمد على الكرسي
  لاَ تَجْلِسْ فاطمة على المقعد
البحث
اذا تأملنا الفعل: ’لا تأكل‘ في المثال الأول من الطائفة الأولى نجد انها تدل على طلب ترك الفعل من المخاطب، وهذا هو الحال في جميع متصرفاته في الأمثلة التالية، وكل فعل يدل على طلب ترك الفعل من المخاطب يسمى النهى الحاضر.
اما اذا نظرنا الفعل: ’لا يجلس‘ ’ولا تجلس‘ في المثالين السادس والسابع نجد انهما يدلان على ترك الفعل من الغائب، لا من الحاضر. وكل فعل من هذا النوع يسمى النهي الغائب.
واذا تتبعنا كل فعل من النهي الحاضر والنهي الغائب نجد انهما بنيا من الفعل المضارع بزيادة ’لا‘ للنهي، فصارا مجزومين، كما درسنا في النحو أن ’لا‘ للنهي يجزم الفعل المضارع. فيسكن آخر الفعل إذا لم يكن في آخره نون، أما اذا كان في آخره نون فيحذف، سوى نون النسوة، فلا يحذف على أي حال.
القاعدة:
·         النهي هو الفعل الذي يدل على طلب ترك الفعل. وهو نوعان:
·         النهي الحاضر هو الفعل الذي يدل على طلب ترك الفعل من المخاطب
·         النهي الغائب هو الفعل الذي يدل على طلب ترك الفعل من الغائب
·         ويبنيان بزيادة ’لا‘ للنهي على المضارع، فيجزم الفعل

التمرينات
النهي الغائب

المفرد
المثنى
الجمع
المذكر
لا يَفْعَلْ
لاَ يَفْعَلاَ
لاَ يَفْعَلُوا
المؤنث
لاَ تَفْعَلْ
لاَ تَفْعَلاَ
لاَ يَفْعَلْنَ
النهي الحاضر

المفرد
المثنى
الجمع
المذكر
لا تَفْعَلْ
لاَ تَفْعَلاَ
لاَ تَفْعَلُوا
المؤنث
لاَ تَفْعَلِي
لاَ تَفْعَلاَ
لاَ تَفْعَلْنَ
عين أفعال النهي في العبارات الآتية:
1)   ولا تقتلوا أَوْلاَدَكُمْ خشية إملاق
2)   لا تجعل يدك مغلولة إلى عنقك
3)   وإن لم تفعلوا ولن تفعلوا
4)   ولا يضربنَ بأرجلهنّ
5)   ولا يخضعن بالقول
6)   وزنوا بالقسطاس المستقيم
7)   ولا تقربا هذه الشجرة فتكونا من الظالمين
8)   لا تلهكم أموالكم ولا أولادكم عن ذكرالله
9)   لا يلعن بعضكم بعضا
10) لا يسخر قوم من قوم.

اجعل الأفعال المضارعة أفعال النهي:
1